Duga Distorsi Hukum Pada PTSL Kabupaten Semarang, Menurut Muhammad Masykur. SH, MH.

Ungaran //DJALAPAKSI NEWS// | “Mantap mas beritanya, lanjutkan dan selalu tegakkan kebenaran, keadilan dan edukasi masyarakat, like3x” demikian pesan chating di Handphone DJALAPAKSI NEWS pagi ini, Sabtu 22/2/25.

Rupanya berita tentang judul: BODOHI SAJA! Masyarakat Bisik Oknum PTSL Kabupaten Semarang, dan judul: ALHAMDULILLAH! PTSL Kab. Semarang Hanya Rp.150.000, menjadi perhatian Ahli Hukum, Kantor Hukum Muhammad Masykur. SH, MH, beralamat: Lingk Manggis RT.001 RW.008 Kel&Kec Bawen Kabupaten Semarang.

Tak membuang kesempatan, DJALAPAKSI NEWS mengajukan permohonan tanggapan dan pencerahan dari sudut pandang hukum, abang Masykur, melalu percakapan Whatsapp atau Chatingan.

Masykur menduga pada tarif PTSL Kab. Semarang ada unsur Distorsi Hukum. “Lex Superior Derograt Lex Inferior” Bahwa aturan yang lebih tinggi mengalahkan aturan di bawahnya atau aturan yang di bawah harus berpegang aturan di atasnya” Kata Masykur.

Jika Aturan terjadi Distorsi, maka konsekuensinya bisa berakhir di Pidana dan atau Perdata, untuk itu, Masykur berharap dan menyarankan pada Petugas PTSL Kab. Semarang agar bisa memberikan Informasi Publik (misal MMT dan atau Surat Edaran) sesuai regulasi tentang rincian penggunaan anggaran PTSL Kab. Semarang, agar tidak terkesan tindak pungli, informasi menyesatkan, pembiyaran kesalahan dan membodohi masyarakat, seperti dugaan dan gunjingan masyarakat Kab. Semarang saat ini.

Masykur menambahkan analisa yang disampaikan oleh Emmanuel A.W. Adi – Analis Hukum Kementerian Sekretariat Negara dalam diskusi WAG Pengacara & Advokad, bahwa Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk mempercepat proses sertifikasi tanah bagi masyarakat dengan biaya yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2017 antara Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dalam SKB tersebut, disebutkan bahwa biaya maksimal PTSL di Pulau Jawa adalah Rp150.000, yang mencakup biaya pengadaan patok batas, materai, dan operasional petugas tingkat desa atau kelurahan. Namun, berdasarkan informasi yang beredar, masyarakat di Semarang dikenakan biaya Rp500.000 untuk pengurusan PTSL, yang menimbulkan dugaan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku serta potensi pungutan liar (pungli) atau penyimpangan administrasi lainnya.

Dugaan utama dalam kasus ini adalah adanya pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan SKB 3 Menteri, yang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 huruf (e) , yang menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan jabatannya untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu di luar ketentuan resmi dapat dikenakan pidana. Selain itu, tindakan ini juga bertentangan dengan Pasal 423 KUHP, yang mengatur bahwa pejabat publik yang memaksa seseorang untuk membayar di luar ketentuan dapat dipidana hingga enan (6) tahun penjara. Peraturan lainnya yang dilanggar adalah Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, di mana Pasal 36 secara tegas melarang penyelenggara layanan publik melakukan pungutan di luar ketentuan yang telah ditetapkan.

Namun, selain dugaan pungli, ada kemungkinan bahwa biaya yang dikenakan lebih tinggi ini disebabkan oleh kesalahan administrasi atau kurangnya transparansi dalam pelaksanaan program. Beberapa pemerintah daerah terkadang menetapkan biaya tambahan untuk mendukung kelancaran program PTSL dengan alasan biaya operasional yang lebih besar dari anggaran yang tersedia.

Jika ada keputusan daerah yang menetapkan tarif lebih tinggi, peraturan tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Bupati/Wali Kota yang sah dan tidak boleh bertentangan dengan regulasi nasional. Tanpa dasar hukum yang jelas, pungutan ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang administratif, yang juga melanggar prinsip-prinsip good governance sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Dugaan lain yang perlu dianalisis adalah kelalaian pengawasan dalam implementasi program PTSL, yang menyebabkan adanya pungutan tidak sah yang dilakukan oleh oknum tertentu di tingkat desa atau kelurahan. Dalam beberapa kasus di daerah lain, panitia lokal yang bertugas dalam pengurusan PTSL menarik biaya tambahan dengan alasan pengurusan dokumen atau jasa konsultasi. Padahal, dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 2018 tentang PTSL, dinyatakan bahwa proses PTSL tidak boleh membebani masyarakat lebih dari batas yang telah ditentukan. Jika terjadi pungutan yang tidak sesuai, maka masyarakat berhak untuk mengajukan keberatan atau menolak pembayaran tersebut.

Untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam program ini, beberapa langkah dapat dilakukan. Pertama, masyarakat perlu menghubungi Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat atau pemerintah desa/kelurahan untuk mendapatkan kepastian mengenai besaran biaya resmi yang dikenakan. Kedua, jika ditemukan pungutan yang melebihi ketentuan, masyarakat dapat melaporkan dugaan pungli melalui Satgas Saber Pungli (Call Center 193), Ombudsman RI, atau Inspektorat Daerah. Ketiga, masyarakat dapat menolak membayar jika pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan meminta bukti pembayaran resmi jika tetap diminta untuk membayar.

Jurnalis: MP
Editor & IT: mangpujan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *