MENAGIH NYALI Pemkab Semarang Alokasi Minimal Tiga Persen (3%) Dari APBD Untuk Mendukung Pengelolaan Sampah Secara Berkelanjutan Berbasis Circular Economy

Ungaran – //DJALAPAKSI NEWS// | Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) kita peringati sudah hampir 25 kali, tetapi pengelolaan sampah di Kabupaten Semarang khususnya, dan di seluruh Kab/Kota negeri ini tidak juga kian membaik, Ini menunjukkan kekacauan suprastruktur dan infrastruktur pengelolaan sampah Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada akhir 2024, memberikan surat peringatan kepada 306 pemerintah daerah yang masih memakai sistem pembuangan terbuka (open dumping) di tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah mereka.

Dari banyaknya daerah termasuk Pemkab Semarang yang belum mematuhi regulasi, tampak jika HPSN belum sepenuhnya terinternalisasi dan hanya berhenti pada seremoni.

Bahkan Komisi XII DPR RI bersama Kementerian Lingkungan Hidup (LH) Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) menggelar rapat kerja bersama di Gedung Nusantara I pada Kamis, 27 Februari 2025.

Dalam rapat, Komisi XII dan KLH membahas upaya perbaikan tata kelola sampah di Indonesia, termasuk rencana revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Rapat yang dipimpin Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya ini turut dihadiri oleh pimpinan Waste4Change dan penggiat pengelolaan sampah lainnya.

Langkah yang diambil Menteri LH sekaligus Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq untuk menghentikan secara permanen praktik pengelolaan sampah Open Dumping di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah, mendapat dukungan penuh dari Ketua dan seluruh Anggota Komisi XII DPR RI.

“Kami dari Komisi XII DPR RI mendukung Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI untuk menghentikan secara permanen praktik open dumping di seluruh TPA,” ujar Bambang Patijaya.

Politisi Partai Beringin ini juga menegaskan bahwa, Komisi XII DPR RI juga mendorong agar pengelolaan sampah di daerah dijadikan sebagai urusan wajib pelayanan dasar.

Untuk itu, disepakati alokasi minimal 3 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mendukung pengelolaan sampah secara berkelanjutan.

“Komisi XII DPR RI juga mendorong inovasi dalam pengelolaan sampah berbasis circular economy,” Tegas Bambang Patijaya.

Sementara, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan penutupan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah yang masih menerapkan sistem open dumping.

Menurut Hanif, langkah penutupan ini sudah diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 18 tahun 2008, di mana pemeritah telah melarang adanya praktik open dumping.

Sebab, sejak diterbitkanya UU ini, hingga saat ini masih ada TPA yang menerapkan sistem open dumping, dan ini belum pernah dilakukan penataan.

“Tidak hanya praktik open dumpingnya, TPA nya juga akan kita hentikan dan tutup,” tegas Hanif.

 

Dibutuhkan Nyali dan Komitmen

Tentunya, masyarakat menunggu nyali Pemkab Semarang untuk bergotong-royong serta evaluasi dengan memperbaiki faktor pendukung pengelolaan sampah secara berkelanjutan berbasis circular economy ini meliputi lingkungan kerja, motivasi kerja, kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni. Kemudian tidak kalah penting memperhatikan secara khusus faktor penghambat. Hal tersebut perlu dijadikan bahan koreksi bagi Pemkab Semarang termasuk berani mengalokasikan minimal 3 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mendukung pengelolaan sampah secara berkelanjutan berbasis circular economy.

Untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Semarang tahun anggaran 2025 yang ditandatangani pada 2 Januari 2025, Kepala Badan Keuangan Daerah (BKUD) Kabupaten Semarang, Rudibdo menyampaikan, dana APBD 2025 sebesar Rp2,69 triliun. Dari jumlah itu, pendapatan daerah tercatat Rp2,59 triliun atau naik Rp21,17 miliar dibandingkan APBD perubahan 2024.

Komitmen pengelolaan sampah secara berkelanjutan berbasis circular economy dengan alokasi anggaran minimal 3 persen dari APBD Pemkab Semarang tahun 2025, sekitar Rp. 80.700.000.000,- pertahun, kiranya cukup mumpuni dengan catatan dikelola dan dimanagemen secara pola bisnis dan sosial engineering, sebagaimana amanat dokumen negara yang terkesan terselip, yaitu MoU KLHK dan Kemenkop (2016) dan PKS KLHK dan Kemenkop (2017) tentang Koperasi di dalam pengelolaan Sampah, yaitu disetiap Kab/Kota, ada satu Koperasi Produsen “Primer Koperasi Pengelola Sampah” disingkat PKPS. PKPS lah yang menjadi Koperasi Model Multi Pihak pertama di Indonesia dan menjadi acuan terbitnya Permenkop/UKM No.8 Tahun 2021 Tentang Koperasi Dengan Model Multi Pihak.

Kelembagaan Koperasi PKPS haruslah ditumbuhkan dari akar alias model sistem bottom up sebagai Katalisator yang di amanatkan UUPS no.18 Tahun 2008. PKPS adalah Kelembagaan Koperasi yang bisa menjadi :
1. Rumah bisnis bersama
2. Meningkatkan Pemberdayaan.
3. Penyerapan hasil panen yang berpihak pada petani.
4. Melindungi hak petani.
5. Lintas Partai dan SARA.
6. Penghubung lintas sektor.
7. Model Ekonomi Kerakyatan yang dapat menampung, mensinergikan karya-karya anggotanya sehingga tercipta ekosistem hulu-hilir.

Koperasi PKPS memanagemen & memberdayakan secara gotong royong. Hulu: kelola sampah (regulasinya UUPS no.18 Tahun 2008, dst….) dan Hilir: pertanian, perikanan, peternakan (regulasinya UU No. 19 Tahun 2013,
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dst…. )

 

Pengertian Cyrculare Economy

Mengutip catatan H. Asrul Husein:
1. Ketua satgas sampah nawacita
2. Pembuat draf UUPS no 18 th 2008.
3. Pendiri Yaksindo (komunitas tenaga ahli semua mesin teknologi pengolahan sampah).
4. Pendiri GIF (komunitas tenaga ahli untuk indonesia hijau).
5. Pendiri PKPS.

Kenapa terjadi persoalan sampah di Indonesia, karena Rakyat dan Birokrasi terpesona pada plesetan makna bahasa Cyrculare Economy yang menyesatkan, akibat diberikan pemahaman yang melenceng dari maknanya.

Hingga saat ini, umumnya Birokrasi hanya menerapkan ekonomi linear, bukan
ekonomi Cyrculare, nah kalau terapkan ekonomi linear jangan bilang circulare, bukankah menipu itu namanya, karena bahasanya saja yang indah.

Ilustrasi, anggaplah ada pekerjaan atau sebutlah circular economi dalam konteks sampah. Alur kerjanya misalnya dengan urutan sebagai berikut: 1,2,3,4,5,6,7, nah jangan kerjanya langsung No 5, melamgkahi 1,2,3,4 lalu sebut Circular Economy, itu namanya Circular Economy Bodong atau Prematur atau Bayi Cepat Lahir karena langsung kerja No. 5.

Keuntungan dan manfaat kalau kerja sesuai ritme pekerjaan 1,2,3,4,5,6,7 ya perusahaan dalam mengeluarkan dana CSR juga bisa buat program berkesinambungan di satu titik tertentu, karena kerja gotong-royongnya akuntabel, terstruktur, rapi dan masif.

Jika dana kelola sampah termasuk CSR dikelola sesuai ritme kerja gotong-royongnya akuntabel, terstruktur, rapi dan masif, pasti enjoi, kenapa:

1. Aman dan tidak korup.
2. Masyarakat bisa buat program jangka pendek, menengah dan panjang.
3. Tidak stres untuk mengarang program yang endingnya dapat dipastikan mangkrak.
4. Tidak Bohong.
5. Aman dan nyenyak Tidur
6. Cerdaskan bangsa.
7. Tuhan ketawa-ketiwi karena senang.
8. Dll

 

Oleh: Fauzan (Ketua Koperasi Produsen PKPS Kab. Semarang)
Editor & IT: mangpujan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *