KOPERASI (bag;1): Dua pandangan yang berbeda dari Dwi Tunggal Proklamator “Soekarno-Hatta”

Ciburial – //DJALAPAKSI NEWS// | Pandangan Bung Karno dan Bung Hatta dalam hal Pasal 33 memang tampak berbeda tetapi, sebagaimana disampaikan pada akhir tulisan ini, apabila pandangan Sang Dwi Tunggal disinergikan akan membangkitkan bukan hanya perekonomian nasional tetapi juga menjadi contoh keunikan dunia dengan Pancasila dan UUD ‘45 yang dimiliki Indonesia. Salam koperasi.

 

Latar Belakang Ideologis Soekarno

Soekarno adalah tokoh nasionalis-revolusioner dengan pandangan Marhaenisme (ideologi kerakyatan anti-kolonial dan anti-kapitalis) serta sosio-nasionalisme. Ia menggabungkan prinsip sosialisme, nasionalisme, dan spiritualitas Timur dalam membangun konsep ekonomi Indonesia. Baginya, Pasal 33 UUD 1945 adalah alat untuk mewujudkan “masyarakat adil dan makmur” sesuai sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Perspektif Soekarno tentang Pasal 33

1. Pasal 33 Ayat 1: “Perekonomian Disusun sebagai Usaha Bersama Berdasar Asas Kekeluargaan”

– Soekarno menafsirkan “usaha bersama” sebagai ekonomi kolektivitas yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas individualisme.

– Ia menolak sistem kapitalis-liberal yang dianggapnya eksploitatif dan warisan kolonial.

– Asas kekeluargaan diartikan sebagai solidaritas revolusioner, di mana negara bertindak sebagai “kakak tertua” yang memastikan pemerataan ekonomi.

– Namun, Soekarno kurang menekankan koperasi (seperti Hatta) dan lebih fokus pada mobilisasi massa melalui program-program nasional.

2. Pasal 33 Ayat 2: “Cabang Produksi Penting Dikuasai Negara”

– Soekarno melihat ayat ini sebagai senjata melawan imperialisme ekonomi. Dalam pidatonya, ia menegaskan:
> “Pabrik-pabrik, tambang, dan perusahaan vital harus diambil alih negara! Jangan sampai kita dijajah kembali oleh kapitalis asing!”

– Pada masa pemerintahannya (1950–1965), ia melakukan nasionalisasi besar-besaran terhadap perusahaan Belanda dan asing, seperti perkebunan, minyak, dan tambang.

– Tujuannya: memastikan keuntungan ekonomi dinikmati rakyat, bukan pihak asing atau segelintir elite.

3. Pasal 33 Ayat 3: “SDA Dikuasai Negara untuk Kemakmuran Rakyat”

– Soekarno menekankan bahwa kekayaan alam Indonesia adalah “milik rakyat yang diamanatkan kepada negara”.

– Ia menggunakan ayat ini untuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Pembangunan Monas dan Gelora Bung Karno, yang dianggapnya sebagai simbol kemandirian ekonomi.

 

Namun, kritikus menilai Soekarno terlalu fokus pada proyek prestisius.

Perdebatan dengan Tokoh Lain

1. Vs. Hatta:
– Hatta menginginkan ekonomi berbasis koperasi dan desentralisasi, sementara Soekarno memilih sentralisasi negara dengan model “ekonomi terpimpin”.

– Soekarno skeptis terhadap mekanisme pasar, sedangkan Hatta lebih terbuka pada investasi asing yang terkontrol.

2. Vs. Sjahrir:

– Sjahrir (sosialis-demokrat) mengkritik kebijakan ekonomi Soekarno yang dianggap populis dan tidak realistis.

3. Vs. Soepomo:

– Soepomo (arsitek Negara Integralistik) sepakat dengan penguasaan negara, tetapi menekankan harmoni antara negara dan rakyat.

 

Implementasi Pasal 33 di Era Soekarno

1. Nasionalisasi Aset Asing (1957–1959):
– Perusahaan Belanda seperti Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dan Perusahaan Perkebunan diambil alih negara.

– Tujuan: Menghapus sisa-sisa kolonialisme dan memperkuat kedaulatan ekonomi.

2. Deklarasi Ekonomi Terpimpin (1963):

– Soekarno membubarkan sistem demokrasi parlementer dan menerapkan ekonomi terpimpin yang sentralistik.

– Seluruh kebijakan ekonomi diatur negara, termasuk harga barang dan upah buruh.

3. Proyek Mercusuar:

– Pembangunan infrastruktur besar seperti Monumen Nasional (Monas) dan Asian Games 1962 dianggap sebagai manifestasi Pasal 33, meski kontroversial karena biaya tinggi.

Kritik terhadap Perspektif Soekarno
1. Sentralisasi Otoriter:
– Model “ekonomi terpimpin” Soekarno dianggap mematikan inisiatif rakyat dan menciptakan ekonomi biaya tinggi.

– Hiperinflasi mencapai 650% pada 1966 akibat kebijakan moneter yang tidak terkontrol.

2. Politik di Atas Ekonomi:

– Soekarno sering mengorbankan stabilitas ekonomi untuk agenda politik, seperti konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora) dan proyek-proyek simbolis.

Warisan Pemikiran Soekarno

– Anti-Kolonialisme Ekonomi: Pasal 33 menjadi landasan untuk menolak dominasi asing dalam penguasaan SDA.

– Semangat Keadilan Sosial: Gagasan “Berdikari” (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) dan pemerataan masih relevan dalam wacana ekonomi Indonesia modern.

– Kritik terhadap Kapitalisme Global: Pemikiran Soekarno menginspirasi gerakan anti-neoliberalisme di Indonesia.

Kesimpulan

Bagi Soekarno, Pasal 33 UUD 1945 adalah manifestasi perjuangan anti-kolonial dan alat untuk membangun ekonomi berdaulat yang berpihak pada rakyat kecil. Ia menekankan peran aktif negara dalam mengontrol sektor strategis, tetapi implementasinya sering diwarnai sentralisasi kekuasaan dan kebijakan populisme revolusioner. Meski kontroversial, semangatnya tentang keadilan sosial dan kedaulatan ekonomi tetap menjadi fondasi ideologis Indonesia hingga kini.

 

Sumber: Conversation with DeepSeek
Oleh: Agus Pakpahan (Pengamat Perkoperasian di Indonesia)
Editor & IT: mangpujan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *