KOPERASI (bag;2): Dua pandangan yang berbeda dari Dwi Tunggal Proklamator “Soekarno-Hatta”

Ciburial – //DJALAPAKSI NEWS// | 

Artikel bagian 2

Perspektif Moh Hatta atas Pasal 33 UUD

Mohammad Hatta, sebagai salah satu perumus utama UUD 1945 dan Bapak Koperasi Indonesia, memandang Pasal 33 sebagai landasan sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial. Pandangannya didasari oleh visi anti-kapitalisme, penolakan terhadap eksploitasi kolonial, dan keyakinan pada prinsip demokrasi ekonomi. Berikut analisis mendalam tentang pandangannya:

1. Ideologi Dasar: Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi

Hatta melihat Pasal 33 sebagai manifestasi sistem ekonomi yang menghindari ekstrem kapitalisme dan komunisme. Baginya, ekonomi Indonesia harus dibangun atas dasar:

– Asas kekeluargaan: Prinsip gotong royong dan kolektivisme yang mengedepankan kepentingan bersama.

– Koperasi sebagai soko guru ekonomi: Koperasi dianggap sebagai bentuk usaha yang demokratis, partisipatif, dan sesuai dengan budaya Indonesia.

– Kontrol negara atas sektor strategis: Negara wajib menguasai cabang-cabang produksi vital untuk mencegah monopoli swasta/asing, tetapi tanpa menghapus ruang bagi usaha swasta yang sehat.

Hatta menekankan bahwa tujuan ekonomi bukan sekadar pertumbuhan, tetapi pemerataan kesejahteraan.

2. Penekanan pada “Demokrasi Ekonomi”

Hatta memperkenalkan konsep demokrasi ekonomi, di mana rakyat berperan aktif dalam pengelolaan ekonomi melalui koperasi dan usaha bersama. Pasal 33 ayat 1 (“usaha bersama berdasar asas kekeluargaan”) dirancang untuk:

– Menghindari konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang (kapitalisme).

– Mencegah etatisme (dominasi negara yang terlalu kuat seperti dalam komunisme).

– Memberdayakan rakyat kecil melalui partisipasi langsung dalam koperasi dan usaha produktif.

Bagi Hatta, demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi agar kemerdekaan Indonesia bermakna.

3. Peran Negara vs. Swasta

Hatta mendukung kontrol negara atas sektor strategis (Pasal 33 ayat 2 dan 3), seperti energi, pertambangan, dan transportasi, untuk menjamin kepentingan publik. Namun, ia juga membuka ruang bagi:

– Swasta dalam sektor non-vital: Usaha swasta diizinkan selama tidak menguasai hajat hidup orang banyak dan di bawah pengawasan negara.

– Koperasi sebagai alternatif:

Koperasi harus menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, terutama di sektor pertanian, perdagangan, dan industri kecil.

4. Hatta mengkritik praktik ekonomi kolonial Belanda yang mengandalkan perusahaan swasta besar (seperti VOC) dan ingin menggantinya dengan model yang lebih inklusif.

Hatta lebih menekankan efisiensi dan kehati-hatian dalam kebijakan ekonomi.

5. Kritik terhadap Implementasi Pasal 33

Hatta kecewa dengan penyimpangan makna Pasal 33 pasca-kemerdekaan, terutama pada era Orde Lama dan Orde Baru:

– Dominasi negara yang korup: BUMN dijadikan alat kekuasaan politik, bukan untuk kemakmuran rakyat.

– Koperasi yang lemah: Koperasi dijadikan alat birokrasi, bukan gerakan mandiri rakyat.

– Liberalisasi ekonomi: Kebijakan Orde Baru yang membuka investasi asing luas dianggap mengkhianati semangat Pasal 33.

Dalam pidato-pidatonya, Hatta terus mengingatkan bahwa “Pasal 33 bukan untuk oligarki, tetapi untuk rakyat kecil.”

6. Warisan Pemikiran Hatta

– Gerakan Koperasi: Hatta diabadikan sebagai Bapak Koperasi Indonesia. UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian mengadopsi prinsip-prinsipnya.

– Debat Ekonomi Kontemporer:

Gagasan Hatta sering dirujuk dalam kritik terhadap privatisasi BUMN (misalnya PLN atau Pertamina) dan liberalisasi sektor strategis.

– Relevansi Global: Konsep demokrasi ekonomi Hatta sejalan dengan wacana “ekonomi sosial” di Eropa yang menekankan keseimbangan antara pasar dan keadilan.

Kesimpulan

Bagi Mohammad Hatta, Pasal 33 UUD 1945 adalah cerminan jalan tengah Indonesia antara kapitalisme dan komunisme, dengan koperasi sebagai instrumen utama untuk mewujudkan keadilan sosial. Ia menolak ekonomi yang hanya menguntungkan elite, baik elite kapitalis maupun birokrat. Meski implementasinya sering menyimpang, prinsip dasar Pasal 33—khususnya penekanan pada demokrasi ekonomi dan kedaulatan rakyat—tetap menjadi landasan moral dalam membangun sistem ekonomi Indonesia yang berkeadilan.

 

Sumber: Conversation with DeepSeek
Oleh: Agus Pakpahan (Pengamat Perkoperasian di Indonesia)
Editor & IT: mangpujan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *